Untuk siapapun yang pernah bergabung dalam lingkaran ini, kembalilah. ..
Untuk siapapun
yang masih tergabung dalam lingkaran mulia ini, bertahanlah. ..
Entah sudah berapa banyak kita
berganti Murobbi, ada yang mungkin hitungan belasan atau bahkan puluhan kali,
dengan ke-intim-an waktu yang berbeda-beda. Juga entah sudah berapa banyak
teman dan saudara se-liqo kita yang silih berganti. Bahkan sangking seringnya,
dan atau dengan singkatnya waktu untuk bersama, tidak sedikit yang khilaf dan
lupa. Bukan melupakan! Tapi benar-benar pikiran kita terbatas untuk mengingat
semuanya. Sekali lagi bukan melupakan, karena setiap lingkaran yang kita
duduk-duduk didalamnya selalu istimewa.
Lingkaran ini adalah lingkaran “kesepakatan”.
Meskipun secara bahasa makna atau artinya Liqo’ adalah pertemuan, tapi saya
tertarik memaknainya sebagai sebuah “kesepakatan”. KENAPA?
--------------------------
Kita pasti tidak lupa tentang
bagaimana awal-awalnya kita sepakat dengan diri sendiri untuk mencelupkan diri
dalam majelis ilmu ini, bukan? Terutama yang
memulainya ditataran Universitas, pasti ingat bahwa jenjang dan tahapannya
sama; Mentoring, Follow Up Mentoring, Liqo’, lalu kelas Liqo’ pun terbagi-bagi.
Sadar ataupun tidak, ketika kita bertahan untuk melewati setiap jenjangnya, sesungguhnya
kita sedang melakukan kesepakatan dengan diri sendiri. Bagaimana tidak, jika
diluar sana teman-teman kita memilih untuk berdiam diri dikostan, atau
jalan-jalan ke mall, kita justru memilih meluangkan 2 sampai 3 jam waktu kita
dalam sepekan untuk melingkar. Masyaa Allah, tidak kah ini sebuah kesepakatan?
Lalu lingkaran itu terus berputar,
terus melebar, dan terus meluas hingga satu per satu dari kita silih berganti
pergi, entah karena cita-cita ataupun yang lainnya. Lagi lagi kita melatih diri
kita, hati, dan perasaan untuk bersepakat dengan diri sendiri, bahwa kita akan “kehilangan”
dan akan “digantikan”, dan hal itu adalah keniscayaan.
Lingkaran ini hanyalah sebuah
kesepakatan. Diawali dengan kesepakatan tentang targetan ‘amalan yaumi yang
kita sanggupi. Ingat. Yang kita sanggupi, bukan yang Murobbi mau-i. Kurang adil apa coba, kita dengan diri
sendiri? Saat itu kita memberikan ruang kepada diri kita untuk berpikir tentang
jumlah kesanggupan, lalu sepakat secara berjama’ah untuk memenuhi seluruh
targetan. Saya belajar. Benar-benar belajar tentang saling memotivasi diri. Masih
segar sekali didalam ingatan saat hati “minder” dengan ‘amalan yaumi saudari. Atau
juga, tentang setoran hafalan mereka yang membuat kita miris dengan diri
sendiri. Atau … tentang semuanya yang kadang-kadang menampar kita dengan keras.
Kita marah? Jelas. Karena buku mutaba’ah (evaluasi) ‘amanlan harian itu , yang
kolomnya begitu sederhana, sesederhana kita mengisi tanda chekclis saja,
benar-benar menjadi nasihat. Dan tidak selamanya nasihat berupa ucapan, bukan?
Lingkaran ini, hanyalah sebuah
kesepakatan. Kesepakatan kita dengan Murobbi kita, kesepakatan kita dengan
teman-teman selingkaran kita, kesepakatan bahwa kita semua adalah orang-orang
yang sedang dan terus belajar serta memperbaiki diri. Maka kesalahan dan
kekeliruan adalah kewajaran. Pembelejaran dan keinsyafan juga adalah
keniscayaan. Jujur saja. Siapa yang benar-benar rela, benar-benar ikhlas
meluangkan waktunya untuk menasihati kita, mendengarkan keluhan dan curhatan
kita, menanyakan kenapa intensitas tahajjud kita sedikit, apa kendala dhuhanya,
bagaimana dzikir al-ma’tsuratnya, dan seterusnya, tanpa digaji, tanpa dipuji. Siapa?
Maka untuk semua Murobbi kita, semoga Allah limpahkan berkah dan keridhaanNya. Kita
mencintai mereka, tanpa mengurangi cinta kita pada Ibu kita. Kita mencintai
saudari kita, tanpa mengurangi cinta kita pada saudara kandung kita. Kita mencintai
lingkaran ini, kita mencintai setiap kesepakatan didalamnya.
Sungguh tidak lebih setiap
kesepakatan yang kuat ini, karena berasal dari sebuah kesepakatan besar yang
dulu pernah kita ucapkan dengan Rabb kita;Alas
tubirobbikum, Qoolu bala syahid’na (7;172)
Jazaakillah Khairan untuk semua
kesepakatan ini.
Jangan hiraukan apa yang saya
ucapkan, karena ia hanya bahagian dari sesuatu yang tidak kuasa saya ucapkan
secara langsung kepada mereka. Juga hanya bahagian dari upaya saya untuk mengumpulkan
yang tercecer, menyusun yang tak beraturan.
Semoga Allah istiqomahkan kita,
dalam lingkaran ini, dalam kesepakatan ini
Duhai
sahabat dengarkanlah bicara hatiku ini…
Meskipun
jarak memisahkan, namun tiada rentap kasih
Biarlah
waktu menentukan nilai ukhuwah yang terjalin
Teruskan
perjuangan ketitisan darah yang terakhir
Dan aku….
Masih disini,
terus mendaki, puncak tertinggi hidupku.
Dan aku…
Terus
menanti saat yang manis akan berulang kembali, Sahabat
Sahabat by
Devotees
Malam Jum’at yang penuh berkah,
25 Februari 2016 - 9.42 PM