Kalau mau kita menghisab-hisab
diri, sudah seberapa sering kita mengkhatamkan terjemahan Kitab Suci kita?
Sudah berapa sering kita mengulang-ulang membasahi hati kita dengan ucapan dan
kalimat Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang itu? Bisa jadi mungkin kita
lebih sering mengkhatamkan Arabnya daripada terjemahannya. Tidak salah. Benar-benar
saya tidak menyalahkan, karena saya pun begitu. Dan bisa jadi, ketika kita
kembali mulai membaca terjemahannya, kita akan lebih sering merasa malu dan
tidak sanggup melanjutkan ke halaman berikutnya. Kenapa? Karena akan terlau
banyak kalimat yang Allah sampaikan ternyata menyindir kita, ntah itu tentang
ciri hamba yang fasik atau munafik. Lalu kita menjadi merasa bukan siapa-siapa
ketika kalimat “Qod’ af’lahalmukminuun” diterjemahkan, karena kita merasa belum
sebenar-benarnya menjadi salah satu yang beriman, meski selalu kita upayakan,
bukan?
.
Lalu hari ini, kita bercermin
dengan diri sendiri, sudah merasa seberuntung apa kita ketika Allah karuniakan
hidayah yang begitu amazing ini (karena kemauan membaca terjemahan adalah salah
satu hidayah, menurut saya). Sudah merasa seberuntung apa kita ketika Allah
arahkan langkah kita dijalan kebaikan yang penuh liku ini, sehingga kita tahu
bahwa Islam akan kembali menjadi terasing. Maka beruntunglah kita yang “asing”,
karena kita benar-benar berharap menjadi muslim yang paripurna, muslim yang “diasingkan”
karena hanya sedang berupaya menghidupkan kembali agama yang diridhoiNya.
.
Seperti keterasingan yang dialami
oleh Khaliilullah, Khalilnya Allah ; Ibrahim Alahissalam. Bukan sebuah hal yang
ringan ketika Ibrahim dibesarkan dilingkungan keluarga dan masyarakat yang
menyembah berhala tapi hatinya justru mencari kebenaran siapa Tuhan yang
sesungguhnya. Bukan sesuatu yang mudah ketika nantinya akan kita temukan bahwa
Ibrahim akan diusir oleh ayahnya dan dibakar hidup hidup oleh kaumnya tapi
justru ia tidak apa-apa dengan hal tersebut. Bukan sesuatu yang mudah juga
ketika harus berdiri seorang diri dengan keyakinannya yang hanif, bahwa Allah
bukanlah apa yang mereka dan nenek moyang mereka tekuni dalam penyembahan. Sungguh
bukan perkara yang mudah. Karena nyatanya, jika Nabi Ibrahim khawatir tidak
akan lagi diberi penghidupan oleh ayahnya, atau khawatir akan dikucilkan oleh
keluarga dan kaumnya, sungguh beliau akan bisa memilih luluh dengan keadaan,
mengalah dalam perjuangan, dan lemah pada keyakinan. Ibrahim tidak memilih itu.
.
Lalu kita?
.
Justru menemukan iman kita belum
sekaffah Ibrahim. Kita temukan keyakinan kita akan rizki belum sesempurna
Ibrahim. Dan kita temukan bahwa popularitas ditengah-tengah kaum (masyarakat)
adalah sesuatu yang harus diperjuangkan. Sebegitu tipisnya iman dan keyakinan
kita, bahkan mungkin bisa jadi lebih tipis dari rambut yang dibelah tujuh. Kita
temukan diri kita mengalah dengan keadaan, sehingga tidak lagi mau mengenakan
jilbab (syar’i) karena alasan pekerjaan, atau bisa jadi kita menunda-nunda
hijrah (sedangkan keinginan kita sudah begitu kuat) hanya karena khawatir akan
dijauhkan dari sahabat dan rekan sejawat, atau pun bahkan dari keluarga. Kita khawatir,
ketika kita menyempurnakan pakaian kita justru sulit memperoleh pendamping dan
meniti karir, atau kita temukan diri kita meninggalkan segala yang Allah
perintahkan dan segala yang Nabi sunnahkan karena alasan-alasan yang remeh
tentang keduniaan, Allah…….begitu dangkal keyakinan kita kepada Dia, begitu
jauh kita dari kemurnian ‘aqidah Ibrahim AlaihissalamL
.
Ukhti, kita berdo’a semoga Allah kokohkan kaki kita dalam memijaki
Islam sebagai agama kita, seperti kokohnya Ibrahim dalam berislam. Kita berdo’a
semoga Allah kuatkan dan mantapkan azzam kita untuk terus menegakkan agama
Allah seperti mantapnya keyakinan Ibrahim bahkan pun jika harus dibakar. Dan kita
berdo’a agar Allah terus jaga hidayah yang sudah Ia titipkan, karena bisa saja
sewaktu-waktu Ia cabut sesukaNya (karena memang hidayah ini adalah hakNya), na’uzdubillah..
Selepasnya, teruslah berproses. Teruslah
berjalan.
#KeepLearning #KeepWalking