"Wahai orang-orang yang beriman!Jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu-Muhammad:7"

Sabtu, 02 April 2016

"


Se-arogan apapun Nabi Musa, dia adalah salah satu dari hambaNya yang bertaqwa. Salah satu dari hambaNya yang dianugerahkan furqan dan penerangan serta pelajaran. Juga adalah salah satu hamba Allah yang sudah memahami prinsip Ihsan jauh sebelum Nabi Muhammad nyatakan dalam sabdanya. (21:48-49)


Assalaamu’alaina wa’ala ibaadillahishshoolihin

Setangguh Ibrahim, Adakah Kita?



Kalau mau kita menghisab-hisab diri, sudah seberapa sering kita mengkhatamkan terjemahan Kitab Suci kita? Sudah berapa sering kita mengulang-ulang membasahi hati kita dengan ucapan dan kalimat Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang itu? Bisa jadi mungkin kita lebih sering mengkhatamkan Arabnya daripada terjemahannya. Tidak salah. Benar-benar saya tidak menyalahkan, karena saya pun begitu. Dan bisa jadi, ketika kita kembali mulai membaca terjemahannya, kita akan lebih sering merasa malu dan tidak sanggup melanjutkan ke halaman berikutnya. Kenapa? Karena akan terlau banyak kalimat yang Allah sampaikan ternyata menyindir kita, ntah itu tentang ciri hamba yang fasik atau munafik. Lalu kita menjadi merasa bukan siapa-siapa ketika kalimat “Qod’ af’lahalmukminuun” diterjemahkan, karena kita merasa belum sebenar-benarnya menjadi salah satu yang beriman, meski selalu kita upayakan, bukan?
.
Lalu hari ini, kita bercermin dengan diri sendiri, sudah merasa seberuntung apa kita ketika Allah karuniakan hidayah yang begitu amazing ini (karena kemauan membaca terjemahan adalah salah satu hidayah, menurut saya). Sudah merasa seberuntung apa kita ketika Allah arahkan langkah kita dijalan kebaikan yang penuh liku ini, sehingga kita tahu bahwa Islam akan kembali menjadi terasing. Maka beruntunglah kita yang “asing”, karena kita benar-benar berharap menjadi muslim yang paripurna, muslim yang “diasingkan” karena hanya sedang berupaya menghidupkan kembali agama yang diridhoiNya.
.
Seperti keterasingan yang dialami oleh Khaliilullah, Khalilnya Allah ; Ibrahim Alahissalam. Bukan sebuah hal yang ringan ketika Ibrahim dibesarkan dilingkungan keluarga dan masyarakat yang menyembah berhala tapi hatinya justru mencari kebenaran siapa Tuhan yang sesungguhnya. Bukan sesuatu yang mudah ketika nantinya akan kita temukan bahwa Ibrahim akan diusir oleh ayahnya dan dibakar hidup hidup oleh kaumnya tapi justru ia tidak apa-apa dengan hal tersebut. Bukan sesuatu yang mudah juga ketika harus berdiri seorang diri dengan keyakinannya yang hanif, bahwa Allah bukanlah apa yang mereka dan nenek moyang mereka tekuni dalam penyembahan. Sungguh bukan perkara yang mudah. Karena nyatanya, jika Nabi Ibrahim khawatir tidak akan lagi diberi penghidupan oleh ayahnya, atau khawatir akan dikucilkan oleh keluarga dan kaumnya, sungguh beliau akan bisa memilih luluh dengan keadaan, mengalah dalam perjuangan, dan lemah pada keyakinan. Ibrahim tidak memilih itu.
.
Lalu kita?
.
Justru menemukan iman kita belum sekaffah Ibrahim. Kita temukan keyakinan kita akan rizki belum sesempurna Ibrahim. Dan kita temukan bahwa popularitas ditengah-tengah kaum (masyarakat) adalah sesuatu yang harus diperjuangkan. Sebegitu tipisnya iman dan keyakinan kita, bahkan mungkin bisa jadi lebih tipis dari rambut yang dibelah tujuh. Kita temukan diri kita mengalah dengan keadaan, sehingga tidak lagi mau mengenakan jilbab (syar’i) karena alasan pekerjaan, atau bisa jadi kita menunda-nunda hijrah (sedangkan keinginan kita sudah begitu kuat) hanya karena khawatir akan dijauhkan dari sahabat dan rekan sejawat, atau pun bahkan dari keluarga. Kita khawatir, ketika kita menyempurnakan pakaian kita justru sulit memperoleh pendamping dan meniti karir, atau kita temukan diri kita meninggalkan segala yang Allah perintahkan dan segala yang Nabi sunnahkan karena alasan-alasan yang remeh tentang keduniaan, Allah…….begitu dangkal keyakinan kita kepada Dia, begitu jauh kita dari kemurnian ‘aqidah Ibrahim AlaihissalamL
.
Ukhti, kita berdo’a semoga Allah kokohkan kaki kita dalam memijaki Islam sebagai agama kita, seperti kokohnya Ibrahim dalam berislam. Kita berdo’a semoga Allah kuatkan dan mantapkan azzam kita untuk terus menegakkan agama Allah seperti mantapnya keyakinan Ibrahim bahkan pun jika harus dibakar. Dan kita berdo’a agar Allah terus jaga hidayah yang sudah Ia titipkan, karena bisa saja sewaktu-waktu Ia cabut sesukaNya (karena memang hidayah ini adalah hakNya), na’uzdubillah..

Selepasnya, teruslah berproses. Teruslah berjalan.
#KeepLearning #KeepWalking