"Wahai orang-orang yang beriman!Jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu-Muhammad:7"

Senin, 23 November 2015

Sedari awal, hati ini memang sudah siap untuk "dimadu"

Sedari awal ia diproses, aku memang sudah mempersiapkan hati untuk “dimadu”
Nyatanya memang begitu, 
Tapi tak mengapa….

Ia tetap menjadi alasan bagi ku untuk terus merindu, hingga batas rindu yang tak mampu aku jelaskan sekalipun
Ia tetap teristimewa, menempati ruang hati dengan bahagian yang dia ciptakan sendiri.
Ia tetap menjadi inspirasi dalam setiap tulisan sederhana ini
Ia tetap menjadi salah satu dari rindu yang hanya bisa dituntaskan dengan air mata
Ia tetap menjadi penyejuk dengan setiap kata dan ba’it do’anya. Bahkan kini, ia mendo’akan ku tak lagi sendiri, melainkan berdua dengan kekasihnya.

Jazaakumullah khair… Atas setiap do’a yang d ucapkan, semoga berbalik kebaikan yang sama atau lebih baik dari Yang Maha Mengabulkan do’a

Hampir berbilang bulan tak ada percakapan diantara kita, hampir berbilang bulan pula tak ada cerita diantara kita.
Insyaallah aku  paham kondisinya, tahu sebabnya, dan mengerti keadaannya.
Bukanlah sebuah kekesalan bagiku yang tak berbincang mesra seperti dulu lagi denganmu, bukan juga hal yang aneh dipandanganku, karena setiap pengantin baru membutuhkan waktu untuk saling mengenal dan memahami lebih banyak, jauh lebih banyak waktu yang telah kita lalui bersama sebelumnya.

Aku, disebalik tanya “Begitu melelahkankah setelah berdua?” bukan bermaksud untuk mengganggu masa perkenalan kalian.. bukan pula bermaksud menuntut banyak waktu darimu… 
Hanya ini, adalah sapaan yang begitu lama sudah tertahankan, 
Hanya ini, adalah cerita yang begitu lama telah disimpan,
Juga ini, hanya Rindu yang tak mampu aku jelaskan.

“Begitu melelahkan kah setelah hidup berdua?”
Ini tanya sekaligus penegasan, bahwa memang waktu yang kalian habiskan terlihat kurang untuk bersama, segala aktivitas dan rutinitas menuntut energi dua kali lebih banyak dari yang sebelumnya, juga sekaligus ini bermakna gerimis bagi hati yang begitu berat dalam menjalani semua seorang diri.

Bukan, bukan seorang diri yang bermakna berharap akan segera berdua dengan belahan jiwa, bukan itu. Sebab bagi ku, impian tentang pangeran dan kuda putihnya telah lama menutup lembaran bait do’a panjang hingga Allah saja yang akan memutuskan “kapan” ia akan datang.
Juga ini bukan bermakna aku berhenti berjuang, Oh tidak…. Justru hati ini semakin yakin bahwa takdir bagiku sudah tertulis rapih, runut, dan berurut di Lauh Mahfudz sana.

Adapun tanyaku tadi, sungguh aku harus menghadapi segala sesegukan sendirian, sungguh aku harus kuat dalam menghadapi rintangan sendirian, sungguh aku….ingin sekali mampu menyeka air mata saat kesedihan sendirian.
Dan aku tahu – setelah 30 Oktober kemarin, bahwa hati ini semakin kuat 

Amel  Rindu.
Itu saja.



Dari Aku,
Yang tak mampu menjelaskan Rindu

Sabtu, 21 November 2015

Formula DARI, UNTUK, dan OLEH saya

Seorang teman bertanya tentang perasaan jauhnya Allah dengan dirinya.


Kaget!
Heran.... bahwa beliau ini saya kenal dg penjagaan sholat fardhu diawal waktu luar biasa, tilawah, dikir ma'tsurat, puasa senin kamis apalagi... Rasanya dari segi mata dzahir manusia, tidak ada maksiat dan dosa besar yang dikerjakan... Wallahu'alam maksiat dan dosanya dalam kesendirian diserahkan lagi ke beliau. Lalu kenapa bisa ia merasa berduka dengan amalan yang baik ini? Sebab merasa Allah jauh, saya takut sekali jika ini prasangka yang akan membuahkan sebuah kenyataan:  Allah menjauh karena prasangka yang justru kita timbulkan sendiri..



Perlahan... 
Saya mencoba menyampaikan apa yang pernah saya alami, krn contoh yang paling dekat itu berada dalam diri kita.


"Kak.....Allah tidak mungkin jauh dengan hamba yang menjauhkan dirinya dari dosa besar. Allah tidak mungkin jauh dengan hamba yang bermaksiat lalu bertaubat. Justru allah senang dg kita yg seperti itu. Allah ngga mungkin jauh dg kakak yang selalu menjaga amalan wajib dan sunnah. Jadi jika itu adalah prasangka, kita berdo'a agar Allah segera menghilangkannya"

Lalu saya membandingkan dg apa yang dulu dialami, dan saya sampaikan..."Tapi iman memang butuh untuk diupgrade kak.... hidup ini, dengan ujiannya yang naik kelas...membutuhkan penjagaan dr iman yg sebanding pula. Bisa jadi kk mengalami ujian saat ini, tapi dg level iman dikelas yang sebelumnya. Memang ngga bisa begini kak. Maka solusinya bukan merasa Allah jauh, tapi kk dituntut untuk lebih lagi dalam penjagaan dari iman yang sebelumnya"


Allah dekat, kok.
Kadang kita aja yang membuat jurang pemisah dengan Allah yang begitu melebar.



1.Amaliyah 
2.Ketaatan pada Jama'ah
3.Solusi yang berawal dari kesadaran.


Dan saya solusikan (masih berdasarkan apa yg saya paham dan alami) tentang 3 hal diatas....

Ini berlaku umum, tidak khusus untuk beliau yang bertanya saja, bahwa peningkatan keimanan bisa kita lakukan dengan 3 cara...


Peningkatan Amalan wajib dan sunnah dari yang sebelumnya. Dan ini poin inti hablumminallah kita. Tapi tidak cukup sampai disana.
Kita perlu bersama dalam kebaikan dan penjagaan... kita butuh teman yang menguatkan, maka KETAATAN pada jamaah adalah salah 2 pencapaiannya. Ntah itu ketaatan pada sistem/manhajnya,  atau ketaatan pada 'pembimbingnya' atau qiyadahnya  selama ia mengajak pd kebaikan. Dan alternatif ini adalah yang paling cepat progresnya untuk dirasakan.


Lalu yang ketiga, poin kesadaran lalu menghadirkan solusi. Dari sadarnya kita tentang kebutuhan iman, kita bisa memilah apa yang sedang dibutuhkan iman. Apakah dari segi jenis bacaan bukunya,  sebab buku juga berbeda versi dan isinya, apakah dari segi pemenuhan hak orang lain yg dilalaikan, apakah ada kedzaliman yang ditimbulkan, dsb.... Dan ini merupakan  solusi dalam hal gerakan.

Ini formula yang saya buat sendiri. Boleh sepakat boleh juga engga. Ini negara bebas, kok 
#Eh

Jumat, 06 November 2015

Ukhti, hidup ini tidak ada pilihan lain kecuali memilih untuk menjadi pribadi pembelajar. Setiap hari. Seterusnya. Dan selamanya.

Dear Ukhti, untuk kita yang sama-sama sedang berjuang,

Apa kabar imanmu hari ini? Semoga ia dalam kondisi terbaiknya, semoga ia juga dalam kondisi ketaatan terbaiknya, sebab tak ada yang lebih menyenangkan selain berdekat-dekat dalam nikmatnya bersama Rabb kita, bukan?

Ukhti, tulisan ini untuk kita yang entah seperti apa pahit getirnya ujian dalam hijrah menuju Rabb kita, untuk kita yang sepelik apapun segala hambatan yang telah, sedang, atau akan kita temui didepan, juga untuk kita yang berulang kali jatuh bangun dalam memperjuangkan keistiqomahan, semoga mampu mengusap air mata mu, bahwa kau … tak sendiri. 

Selamat membaca

Ukhti, kau mau tahu alasanku memutuskan untuk membalut tubuh dengan khimar lebar, yang bahkan bagi sebahagian masyarakat masih asing dan aneh ini? 

Kau mau tahu alasanku untuk belajar mengaji secara rutin dan intensif?

Kau mau tahu kenapa aku begitu bersemangat dalam mengikuti pengajian pekanan dikampus, acara-acara kerohanian diorganisasi meski hanya sebagai seksi konsumsi, atau hanya sekedar mengikuti pawai 1 Muharram dengan berjalan kaki?

Sungguh, ukhti…. Sebelum aku katakan alasannya, izinkan aku bercerita singkat tentang masa SMA yang sama sekali aku tak pernah memakai khimar kecuali di Hari Jumat atau perayaan hari besar umat islam. Dengan ukuran rok yang memang dibawah lutut, atau mahkota kita sebagai seorang wanita yang begitu bebas aku pertontonkan. Hingga suatu saat, seorang guru Matematika menjelaskan kepada ku secara tidak langsung, bahwa mereka-wanita berjilbab lebar memiliki akhlak yang baik, lembut, dan menyamankan. Ini saja alsanku; AKU…INGIN SEPERTI GURU MATEMATIKAKU! 

Ringan sekali sepertinya memang, “hanya ingin menjadi seperti idola”.Selesai. Tapi ternyata, perjalanan yang  dilalui tidak sesimple bayangan dalam ‘ingin’ ku diawal. Harapku semoga beliau yang menginspirasiku Allah balas dengan amal jariyah bersebab dakwah bil hal yang dilakukannya. Semoga. Bu Wenny, salam rindu karena Allah untukmu:”)

Berikutnya, akan aku ceritakan tentang proses hijrahku. Semua berawal dari perasaan coba-coba untuk melampiskan khimar saat hendak ke pasar dengan ukuran standar. Seingatku, saat itu semester 3 perkuliahan. Ternyata, saat berjalan dikeramaian, ada kenyamanan yang aku rasakan, yang tidak aku rasakan saat saat sebelumnya belum melampiskan khimar ini. MasyaAllah. Maka sejak itu aku mulai membiasakan, hingga terbiasa, dan menjadi biasa. Alhamdulillah. Semoga Allah jaga hidayah ini hingga kelak nafas berjauhan dengan raga. Juga untukmu:)

Tentang seberapa panjangnya khimar memang tiada ada aturan baku, kecuali menutupi dada, tidak membetuk lekuk tubuh, juga tidak transparan. Lalu ukuran seberapa dalamnya tergantung seberapa besar kenyamananmu atasnya. Meski perlahan aku mulai menambah panjangnya, seiring dengan bertambahnya nyamanku dalam mengenakan. 

Secara pribadi, tidak ada tekanan dari dalam diriku. Semua proses dan perubahan aku nikmati. Termasuk juga teman-temanku yang sama sekali tidak ada perubahan perlakuan terhadapku. Sedikitpun mereka tak pernah mempermasalahkan. Syukurku pun disana. Maka jika teman mu mempermasalahkan hijrahmu, ukhti… bahkan menjauhimu, berarti mereka bukan teman yang siap untuk diajak ke Jannah ;)

Tapi tidak cukup sampai disana.

Berikutnya, tentang keluarga. Ayah, Ibu, Kakak lelaki, dan keluarga besar Ibu. 
Argh……. Pelik sebenarnya jika harus aku ingat ulang, tulis ulang, dan menceritakan ulang. Tapi ini tidak lain kecuali menjadi penguat untuk kita, agar sama-sama bertahan dalam berbagai keadaan. 

“Ukhti, selalu ada ujian bagi kita yang sedang berjuang”

Setelah mensholehkan diri, berikutnya adalah mensholehkan orang-orang terdekat. Seperti Rasulullah.SAW setelah wahyu turun, yang beliau islamkan pertama kali adalah Bunda Khadijah dan Ali bin Abi Thalib. Lalu, aku? Masih belum teruji dalam kesempurnaan iman dan cara, ukhti. Bahwa hingga hari ini pun Ibu ku masih belum mengenakan khimar secara sempurna. Kadang merasa aku gagal. Juga tak jarang mempertanyakan pertolongan Allah saat kita menegakkan agamaNya, bukankah Dia akan menolong kita? Maka aku pernah berada pada titik kepasrahan, mengakui lemahnya siasat, dan bingung bagaimana lagi caranya mendakwahkan mereka yang tercinta.

Kau kira aku tak menangis?
Kau kira aku kuat?
Kau kira aku baik-baik saja?

Untuk beberapa saat mungkin, YA. Tapi disaat yang lain, tentu lebih sering aku dirundung kegelisahan, aku khawatir, ukhti… aku takut jika apa-apa yang aku tebarkan kepada orang lain ternyata Allah tak nilai bersebab tak berhasilnya dakwah terhadap orang-orang terdekat. Demi Allah, TIDAK, ukhti…. Hingga selemah-lemahnya cara yang aku pahami adalah dalam do’a terbaik yang aku bisa, agar Allah membukakan hidayahNya untuk mereka. Sebab aku,mencintai mereka sepenuh hati yang aku punya. Yakinkan hatimu jika masih terselip keraguan padaNya, kuatkan azzammu jika ada yang melemahkannya, jaga niatmu jika sesekali syaitan mulai membengkokkan.

Ukhti, hidup ini tidak ada pilihan lain kecuali memilih untuk menjadi pribadi pembelajar. Setiap hari. Seterusnya. Dan selamanya. 

Maka menambah bacaaan, 
Memperbaiki kualitas ibadah,
Menjaga akhlak,
Adalah proses pembelajaran yang senantiasa harus kita lakukan. 
Bernjanjilah untuk menjadi wanita yang baiknya menebarkan kepada orang ramai, teduhnya menenangkan rekan kawanan, dan kokohnya prinsip meneguhkan mereka yang terlupa. 
Jadilah karang yang kuat meski harus dihantam badai dan terik matahari.
Jadilah pribadi yang berdiri tegap diatas kaki kita sendiri, dengan Aqidah yang kita imani.
Jadilah pribadi yang menawan bersebab malamnya kau isi dengan 7 rakaat Qiyyamul Lain, Shubuhnya kau awali dengan tilawah dan dzikir, siangnya kau jauhkan lambungmu dengan kenyamanan. Mari ukhti, kita bersama menuju FirdausNya, saling mengeratkan kita dalam genggaman. Hingga kelak kaki kita sama sama menginjak JannahNya, insyaallah. 
Dan jadilah dirimu sendiri, didalam keterbatasannya terselip do’a agar Allah tunjukkan terus cahaya hidayahNya.
Jadilah dirimu sendiri, yang tidak labil pada masa-masa pancaroba kita sebagai ‘akhwat single’
Jadilah diri kita sendiri, yang tidak perlu berpura-pura sempurna dihadapan manusia, tapi cukup menyempurnakan iman kepada Yang Kuasa.
Jadilah diri kita sendiri seutuhnya, ukhti.

Lalu untuk ujian hati? Wah…ini edisi khusus. Tak pernah sebelumnya aku menuliskan yang sebenarnya tentang apa-apa yang terpaut jauh didalam hati.

Ukhti, ketika kita memutuskan untuk hijrah…maka hijrahkanlah segalanya. Jangan setengah-setengah, jangan nanggung-nanggung. Termasuk untuk urusan takdir dalam mencari pasangan. Karena saat kau melangkahkan kaki untuk berjalan diatas kerikil ini, maka disaat yang sama kau juga sedang menghijrahkan “caramu” dalam memilih bagaimana proses yang akan kau jalani dalam menemukan imammu. Kita berlindung dari segala tipu daya syaitan yang bisa melemahkan hati kita.

Jangan khawatir,…..aku pun belum bertemu dengan ‘dia’ yang berjanji membawaku untuk taat dalam pengabdian kepada Rabbku. Tapi kita harus meyakini, bahwa dia juga sedang Allah persiapkan.

Cara yang kita pahami ini - yang hanya diwakili oleh selembar kerta dan didalmnya ada Nama, Tempat Tanggal Lahir, Hobi, Visi dan Misi , dan lain lainnya ini sungguh menggetirkan syaraf air mata. Berpeluh-peluh kita dalam mengupayakan, berlimpah air mata kita dalam keharibaan, semaksimal tawakkal yang kita miliki dalam permohonan. Maka bersungguh-sungguh dalam meminta meski harus sesegukan, lakukan saja! Sebab yang kita andalkan hanya petunjukNya, bukan. Lalu setelah itu, setelah berdo’a dan memohon petunjuk dalam keheningan, lalu kau belum juga dipertemukan, bersabarlah..ukhti…. Seperti sabarnya Nuh dalam berdakwah 950 tahun, seperti sabarnya Shalih saat unta betinanya disembelih, seperti sabarnya Zakaria dalam meminta keturunan meski uban memenuhi kepalanya, seperti sabarnya Musa dalam menghadapi Fir’aun dengan keterbatasan kefasihahn lidah, Seperti sabarnya Khidir dalam mengajarkan, seperti sabarnya Luqman dalam menasihati, seperti sabarnya Ya’kub dalam kehilangan putra kesayangan, seperti sabarnya Yusuf dalam benaman sumur yang kelam, juga seperti sabarnya Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Bersabarlah:)

Sekian. Semoga bermanfaat dan menginspirasi.


PKPU Bukittinggi

"Tiga hari menuju 24 Tahun"